21 May 2004
Konon, ketika memulai J-Leaguenya sepuluh tahun silam, JFA menuai kritik pedas dari parlemen Jepang. Mayoritas anggota parlemen menganggap, J-League hanyalah guyonan belaka. Salah seorang diantaranya, yakni Kobayashi, 62. Kini, ketika mayoritas anggota parlemen itu sudah tidak lagi menempati kursi parlemennya, demikian halnya dengan Kobayashi, kerap menemani cucu-cucunya di akhir pekan di salah satu bangku stadion di Yokohama sambil berteriak-teriak, " Jung Hwan.... Jung Hwan!"
***
Ketika mafia wasit Indonesia terungkap era 90-an dengan "direktur utamanya" Jafar Umar, tidak sedikit dari kita yang terheran-heran. Kok bisa, seorang wasit sekelas FIFA memimpin korps baju hitam menuju keterpurukan. Tidak sedikit dari kita berharap, kasus itu adalah sebuah pelajaran berharga sekaligus menjadi yang terakhir agar sepakbola kita kembali berjalan ke arah yang lebih baik.
Kini, hampir satu dekade kasus itu berlalu. Bahkan sang "dirut" telah selesai dari hukumannya. Kasus mafia wasit kembali merebak di pentas Liga Indonesia IX. Gelagat ini sebenarya telah tercium sejak Liga Indonesia VIII musim lalu. Akan tetapi karena sulitnya mengusut barang bukti, menjadikan kasus mafia wasit kembali kusut.
Wasit kita banyak dipuji
Kasus terkini, pemukulan dan penganiayaan terhadap Jimmy Napitupulu yang akhirnya menyeret Haji Santo "keluar" dari PSSI sesungguhnya hanyalah puncak dari gunung es. Masih banyak kasus lain seputar kekerasan terhadap wasit, penyuapan atau kasus lain yang tidak banyak diliput media tapi justru banyak terjadi. Kasus di Divisi I dan II yang melibatkan banyak klub yang tersebar di seluruh Indonesia tidak serta merta mendapat tempat yang layak di halaman media.
Kalaupun akhirnya beberapa pengurus klub dan pengurus PSSI bisa duduk bersama dan sepaham untuk memerangi "penyakit kambuhan" ini, banyak dari kita yang masih ragu bahwa pertemuan itu akan menghasilkan perbaikan yang mendasar. Bukankah di awal Liga Indonesia IX mereka juga telah mengadakan pertemuan serupa? Bukankah pula Ketua Umum PSSI, Nurdin Halid secara simbolik juga telah membuka liga dengan "sumpah sportifitas" di Kediri? Lalu, kemanakah larinya angin komitmen itu? Mengapa ketika liga kita baru berjalan setengah, kasus wasit kembali memanas?
Wasit kita telah mendapat pengakuan dari FIFA sejak lama. Tidak sedikit dari wasit kita yang ditugasi AFC memimpin pertandingan internasional di kawasan Asia. Secara teknis dan kemampuan, wasit kita juga banyak dipuji oleh para pengajar asing dalam diklat-diklat perwasitan. Rata-rata nilai ujian wasit kita juga tidaklah jelek. Lalu mengapa wasit kita banyak menuai kritik ketika memimpin pertandingan? kemanakah larinya kemampuan itu seakan hilang di lapangan? Sungguh ironi, bahwa wasit kita justru tidak dipercaya di rumahnya sendiri!
Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam memimpin sebuah pertandingan seorang wasit tidak bisa lepas dari kesalahan. Tidak sepenuhnya disalahkan pula apabila seorang wasit mengambil keputusan dari "kacamatanya", karena memang tidak mudah mengambil keputusan dari sebuah kejadian yang cepat dalam waktu yang sangat singkat. Apakah kata-kata "kacamata" mempunyai titik lemah? Bahwa dari sanalah kita lalu boleh menganiayanya?
Siapakah Mafia itu?
Pertanyaan yang lebih serius adalah siapakah mafia yang banyak disebut menggandeng wasit kita itu? Sangat wajar dan beralasan kita kecewa ketika tim kita kalah. Menjadi tidak wajar kalau dari kekalahan itu kita bertindak semena-mena terhadap wasit. Lebih tidak beradab lagi bila kekecewaan itu meluas pada tindak anarki.
Banyak media kita yang mengungkap bahwa sebenarnya banyak dari pengurus klub "main mata" dengan wasit. Akan tetapi kenyataan yang hampir menjadi rahasia umum itu sangat sulit untuk dibuktikan kebenarannya. Tidak adanya barang bukti dan tidak tersedianya "reserse" menjadi alasan pembenar.
Dilihat dari asal katanya, mafia berasal dari bahasa Italia yang artinya kurang lebih penjahat atau pelaku kriminal yang sangat kejam dan kuat. Kalau kita kaitkan dengan kata wasit, sehingga menjadi kata mafia wasit, wow sungguh besar maknanya. Besar bagi kebobrokan sepakbola.
Mafia wasit umumnya dilakukan dengan cara yang halus tapi mematikan. Karena pelakunya adalah orang kuat--dalam arti ekonomi, personal, dan organisasi-- penangkalnya haruslah kuat juga. Inilah yang barangkali belum banyak dipikirkan petinggi PSSI. Bahwa untuk mengatasi mafia dibutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Wasit Asing
Ide memakai wasit asing pernah terlontar semenjak era kepengurusan Agum Gumelar, akan tetapi karena tidak mendapat banyak dukungan, akhirnya ide itu hilang begitu saja. Saya termasuk salah satu orang yang kukuh menyatakan bahwa penggunaan wasit asing adalah cara yang paling efektif memberantas mafia wasit di Indonesia.
Pemain-pemain kita terbukti lebih patuh pada wasit asing. Lihatlah aksi para pemain yang bertanding di level internasional dalam bersikap kepada pengadil lapangan itu. Pemain nasional kita yang bertanding di pertandingan internasional tidak pernah bertindak kasar pada wasit, apalagi menganiaya. Pemain kita yang bertanding di Piala Champion atau Piala Winner Asia sejak dulu hingga sekarang juga mendapat cap baik. Pengurus klub juga demikian. Mengapa?
Menurut hemat saya, pertandingan internasional mempunyai komitmen dan wibawa yang sangat kuat. Aturan yang tegas. Penegakan hukum yang lugas. Siapapun yang melanggar aturan main, dengan tidak pandang bulu, akan diproses sesuai peraturan yang berlaku. Hal ini tidak sebanding dengan pertandingan lokal. Dan hal inilah yang tidak dimiliki liga kita. Tak heran, seorang pemain nasional yang terkenal santun bisa menjadi brutal dan terlibat tawuran di pertandingan lokal.
Penggunaan wasit asing dengan serta merta akan memutus tali mafia. Tidak perlu banyak-banyak, untuk tahun-tahun pertama, sewa saja 8-10 wasit asing untuk memimpin partai-partai yang rawan bermasalah. Selebihnya bisa dipimpin oleh wasit lokal dengan kualitas yang tidak diragukan lagi. Pemilihan wasit asing tentu saja harus dengan kriteria tertentu seperti: lebih baik kualitasnya dari wasit lokal dan independen.
Sembari menyewa wasit asing, kita bisa belajar dari mereka tentang banyak hal yang berkenaan dengan perwasitan. Selain memutus tali mafia, juga akan terjadi transfer pengetahuan dan pengalaman di sana.
Lagi-lagi Biaya
Konsekuensi yang mesti ditanggung dari penggunaan wasit asing yaitu besarnya biaya yang mesti dikeluarkan. Seperti yang telah saya singgung di atas, melawan mafia butuh biaya dan pengorbanan yang besar. Janganlah dilihat dari besarnya saja, tapi bandignkan dengan hasilnya. Apa yang telah dilakukan PSSI saat ini untuk membenahi sektor perwasitan terkesan parsial dan setengah-setengah. Jangan heran bila hasilnya juga tidak maksimal. Penggunaan wasit asing memang butuh biaya besar, tapi lihat hasilnya nanti. Toh penggunaan wasit asing tidak akan selamanya, bukan?
Kita juga semestinya menyingkirkan jauh-jauh rasa malu untuk menggunakan jasa wasit asing. Jepang bisa merasakan hasilnya sekarang ini, salah satunya berkat penggunaan wasit asing. Tidak ada salahnya kita berguru pada negeri yang sukses. Setuju?
[ by : Agus Gigi Yulianto (Pasoepati) ]