18 October 2005
Kompetisi sepakbola Liga Indonesia (LI) 2006 masih tanda tanya kelanjutannya. Berakhirnya LI 2005 yang disponsori oleh pabrik rokok Djarum, pihak sponsor belum bersedia mengontrak ulang, masih negosiasi harga. Pihak Djarum yang sudah menggelontorkan uang Rp 22 milyar di LI 2005, menjadi ragu ketika PSSI menawarkan paket sponsor LI harus di divisi utama dan divisi I yang harganya Rp 60 miliar.
Kita belum tahu apakah pihak sponsor merasa puas akan dampak imej produknya, kalau persepakbolaan Indonesia sudah di cap sebagai sepakbola sampah. Ini adalah komentar pelatih Persebaya, Jacksen F. Tiago, usai Persebaya mengundurkan diri dari 8 besar LI 2005, yang sampai saat ini masih beruntai panjang kasusnya. Sampah? ya, sampah ada di mana-mana, tidak hanya di sepakbola Indonesia saja. Dengan berat hati, bangsa Indonesia kini sedang memasuki era budaya sampah. Dari pemimpin-pemimpinnya, aparat kekuasaan yang benar-benar sudah bermental sampah.
Pendiri PSSI, Ir. Soeratin, yang dengan cita-cita luhurnya melalui sepakbola bisa sebagai pemersatu bangsa, akan menangis jika sekarang masih hidup dengan melihat kompetisi LI. Mengapa? coba kita kutibkan evaluasi Erwin Aksa Mahmud, tim manajer PSM Makassar, yang minta kompetisi LI dihentikan dahulu. Katanya, tujuan kompetisi dari divisi utama, divisi I dan divisi II sudah tidak jelas. Karena hasilnya adalah pelampiasan dendam kesumat antar suku, tawuran konyol antar suporters, merusak hak milik, klub-klub nafsu untuk menang bahkan tanpa bertanding pun.
Wah, Gawat! Masak olahraga kepengin menang tanpa bertanding? Memang bisa dirasakan tetapi susah dibuktikan. Contoh rumor ketika 8 besar LI 2005 lalu, mundurnya Persebaya yang seharusnya berhadapan dengan Persija dalam pertandingan terakhir 4 besar wilayah Barat. Bukan salah semata dari instruksi Ketua Umum Persebaya, Bambang DH. Namun juga ada main mata antara ofisial Persebaya dengan Persija? Rumor yang sudah berhembus kencang.
Ilmu Jawa gotak gatuk, dicocok cocokan, Persija yang sudah habis biaya Rp 15 milyar selama kompetisi (menurut koran-koran malahan Rp 20 miliar), harus mempertanggungjawabkan hasil yang sesuai. Minimal finalis dari target juara, dengan menghindarnya Persebaya, Persija keluar sebagai finalis melawan Persipura Jayapura yang akhirnya ditekuk 2-3 oleh Mutiara Hitam dari Timur itu. Persebaya, yang sudah tidak ada peluang, juga harus mempertanggungjawabkan hal yang sama dengan Persija. Cari-cari akal untuk alasan yang argumentatif.
Maka keluarlah komentar-komentar sampah dari para ofisialnya. Pertandingan rekayasalah, wasit memihaklah, tidak terjaminnya keamanan suporterlah, dll. Di samping itu, menurut rumor pula, ada pepatah “sambil menyelam minum air” main mata dengan Persija. Ternyata yang ketiban pulung adalah Bambang DH, ketua umum Persebaya yang juga walikota Surabaya, dihukum 10 tahun tidak boleh memimpin organisasi sepakbola. Sementara ofisialnya, tim manajer dan ketua harian Persebaya, yang semua masyarakat sepakbola Indonesia sudah tahu track rekordnya, selamat dari hukuman PSSI.
Bahkan tindakan kedua ofisial Persebaya yang menistakan Piala Presiden RI lambang juara LI, tak tersentuh oleh Komdis PSSI. Tindakan itu meninggalkan piala begitu saja dengan bungkusan plastik hitam, dan dititipkan kepada wartawan untuk dikembalikan kepada PSSI. Sebelum tim Persebaya meninggalkan hotelnya di Jakarta. Maka, pas sudah penilaian Jacksen Tiago, bahwa sepakbola Indonesia itu persepakbolaan sampah.
Ir. Soeratin pasti sekali lagi menangis, kok di PSSI sekarang penuh sampah? Penuh masalah dan persoalan yang saling dilempar kemana-mana. Masalah utang kepada klub-klub yang tak kunjung dilunasi, wasit-wasit yang belum dibayar, sponsorship tanpa pertanggunganjawab, dll. Usia organisasi yang lebih dari 70 tahun, bak sebuah pohon yang sedang dimakan rayap. Keropos lengkap dengan bau sampah yang menyengat hidung. Idem dito dengan yang namanya negara Indonesia. Soekarno-Hatta juga ikut menangis meski air matanya sudah kering?
Sampah, sampah, dan sampah di mana-mana. Sampai kehidupan sehari-hari kita juga tak terlepas dari kepungan sampah. Sampah yang sebenarnya maupun sampah serapah. Coba saja, begitu kita keluar dari rumah, kalau tidak sabar terhadap ulah para pengguna lalu lintas jalan raya, kita dengan begitu mudah tergelincir di kebon bintang. Kata-kata sampah keluar tanpa sadar.
Lho, selaku penggemar sepakbola, apakah kita juga senang dengan kehidupan yang penuh sampah? Jika, ya, sungguh, kita juga sudah ikut bermental sampah. Padahal kalau kita masih berpikiran positif, bukankah sampah-sampah itu masih bisa diolah menjadi pupuk?
Pupuk berarti bisa menyuburkan lahan. Mudah-mudahan para pelaku sepakbola Indonesia mempunyai pikiran yang sama pula dengan saya. Wassalam!
[ by : Ignatius Sunito (BOLA) ]