14 April 2005
Homo homini lupus. Manusia adalah serigala bagi manusia lain. Begitulah kiranya apa yang pernah di katakan sang maestro Tomas Hobbes. Bahwa maraknya kerusuhan yang melibatkan sebagian manusi dikarenakan mereka tidak ingin melihat “kekuasannya”di cabik-cabik.
Dan ini yang sedang melanda sepakbola kita. Jika ditelusuri dalam sejarah, kekerasan dan budaya anarkhis yang dilakukan oleh suporter menjadi sebuah agenda sepakbola. Tidak hanya di belahan bumi Eropa namun sepakbola Indonesia pun tengah menuju kearah sana. Ini yang kemudian menjadi kesan bahwa iklim solidaritas manusia belum sepenuhnya mampu memiliki kepribadian yang utuh.
Kasus yang anyar datang dari Madiun. Meski sebelumya terjadi juga kerusuhan di Tangerang dan di beberapa kota. Pergolakan sentimen pendukung kedua tim menyebabkan hingga tertunda nya pertandingan dan bahkan menyebabkan kerugian yang di taksir hingga milyaran rupiah. Belum lagi dengan adanya pencekalan maupun penolakan suporter tuan rumah terhadap suporter tamu yang akan datang memberikan dukungan pada tim kesayangannya yang terjadi pada tim-tim lain. Budaya ini sebenarnya akan memicu tindak balas dendam hingga memunculkan kekerasan dan kerusuhan pada suporter itu sendiri
Kasus semacam ini seakan mengkristal menjadi sebuah mitologi kekerasan manusia yang dipercaya dalam metafora politik jawa. Artinya, orang yang mempunyai “yoni”(kesakten) akan lebih mampu survival manakala kehidupannya memberikan pilihan untuk melegitimas “aku” bagi dirinya dan kelompoknya.
Sigmund Freud bahkan pernah mengatakan bahwa tindak agresi manusia merupakan “blue print” manusia yang mewujud dari adanya insting libido seksual sebagai energi bawaan yang dalam hal ini sebagai fitrah manusia. Dan ini menjadi dalil penunjuk bahwa kekerasan adalah salah satu wujud nyata dari sifat bawaan manusia.
Teori Freud seakan mendapat sambutan dari Machiavelli yang mengatakan bahwa kekerasan menjadi absah untuk mempertahankan ancaman dan dapat diprektekkan oleh penguasa. Mungkin sepakbola tengah menuju ke arah teori ini. Manakala sebuah tim kesebelasan mendapatkan perlakuan yang tidak adil, spontan saja amuk para pendukungnya menghiasi dan seakan melengkapi manisnya pertandingan. Belum lagi jika tim yang mempunyai pendukung yang fanatik mengalami hasil buruk, sudah hampir dapat dipastikan stadion akan berubah menjadi lautan amuk massa.
Kecintaan yang lebih adalah faktor dari semua itu. Kekhasan untuk menggambarkan manusia dalam perspektif cinta memberikan kesan filosofis yang mendalam, bahwa kehidupan ini adalah seni mencintai (the art of loving). Dengan cintalah manusia akan sangat mengerti sifat dasar manusiawinya yaitu lekatnya sebuah kasih sayang. Dan sebaliknya dengan cinta pula manusia berubah menjadi sadis, ambisius dan berubah menjadi mamatikan.
[ by : Susilo Aris Nugroho/foto:Dimas Wihardyanto/KabarSlemania ]