22 April 2015
Terhitung mulai awal musim kompetisi 2015 ini, Jaya Hartono dipercaya manajemen PSS Sleman untuk menukangi Super Elang Jawa. Pelatih yang sudah malang-melintang menangani klub ISL itu, diberi target membangkitkan prestasi PSS naik ke kasta tertinggi liga sepak bolaIndonesia. Dengan modal yang ada saat ini, Jaya menilai hal itubukanlah hal yang mustahil.
”AH kereta kita sudah mau berangkat. Ayo cepatlah naik kursi di sini saja,” ujar Jaya Hartono menyilakan tamunya duduk. Kereta yang dimaksud adalah bench cadangan pemain di Maguwoharjo Internasional Stadion. Setelah memimpin timnya berlatih, ia meluangkan waktunya untuk berbincang dengan Radar Jogja, Sabtu (18/4) kemarin.Jaya Hartono menyukai olahraga kulit bundar sejak kecil. Di usia lima tahun, ia sudah biasa berlatih dengan kawan-kawannya. Namun baru saat menginjak 15 tahun, ia masuk klub sepak bola di Medan, Sumatera Utara. Klub pertamanya adalah Bintang Selatan.
Dua tahun kemudian, ia direkrut PSMS Medan junior hingga masuk tim senior. ”Waktu itu saya masih 19 tahun. Menjadi pemain termuda yang memperkuat PSMS senior saat ikut Piala Marahalim di Medan.Saat itu, kami juara dua, karena di final kalah dengan Korsel 1-3. Tapi di semifinal, kami menang 1-0 lawan Irak,” ujar Jaya bernostalgia.Bagi pecinta sepak bola nasional yang lahir di tahun 1960-an ini, Piala Marahalim dikenal sebagai turnamen bergengsi. Turnamen tersebut pernah masuk kalender resmi FIFA dan diikuti oleh tim-tim raksasa dalam dan luar negeri. Tercatat, timnas Jerman Barat, Belanda, Australia, Jepang, Korea Selatan pernah ambil bagian dalam turnamen yang pertama kali di selenggarakan pada 1972 kali itu. Ditambah lagi kehadiran tim-tim raksasa Liga Perserikatan, seperti PSMS Medan, Persebaya Surabaya dan Persija Jakarta.
Selanjutnya pada usia 20 tahun, Jaya merantau ke Ibu Kota Jakarta. Di sana ia sempat memperkuat tim Persija Barat, sebelum akhirnya hijrah ke Jawa Timur. Persinggahan berikutnya adalah Niac Mitra Surabaya. Di Kota Pahlawan itu, ia menetap hampir enam tahun. Saat musim pertamanya di Niac Mitra itu, Jaya mulai dipanggil masuk tim nasional.Pria yang saat masih aktif bermain biasa beroperasi di sisi kiri itu, mengukir prestasi terbaiknya saat bersama Niac Mitra menjadi juara kompetisi Galatama pada tahun 1987. Dan runner up pada 1989. Ia mengakhiri kariernya sebagai pesepak bola di Persik Kediri pada 2000.”Setelah kompetisi dibubarkan saat pada 1997-1998, saya sudah ingin gantung sepatu. Tapi karena saat itu saya diminta Wali Kota Kediri (H.A. Maschut,red) dan manajer Persik Iwan Budianto, akhirnya saya merangkap pemain-pelatih selama satu musim,” terang Jaya.
Setelah gantung sepatu, Jaya meniti karir menjadi pelatih. Itu karena ia tidak bisa jauh dari dunia yang telah membesarkan namanya selama ini, yakni sepak bola. Awalnya ia menjadi asisten pelatih M.Basri saat membawa Arema Malang masuk 8 besar Liga Bank Mandiri. Hingga setahun kemudian, pindah ke Persik Kediri pada 2001.Beruntung Macan Putih, julukan Persik Kediri mendapat sentuhan tangan dingin Jaya. Karena semusim menukangi tim yang bermarkas di Stadion Brawijaya itu, Persik dibawanya naik kasta ke Divisi Utama dari Divisi Satu. Tak sekadar numpang lewat, pada musim berikutnya Jaya membawa Persik Kediri merajai kasta tertinggi sepak bola nasional pada musim 2003.
Setelah selama empat tahun melatih Persik Kediri, berturut-turut Jaya melanglang buana mengarsiteki tim-tim ISL. Antara lain Persiba Balikpapan, Deltras Sidoarjo, Persib Bandung, Persija Jakarta dan saat ini PSS Sleman. Ditanya mengenai arti sepak bola bagi pelatih 52 tahun yang masih terlihat muda itu, sangat sederhana, namun dalam maknanya. ”Bagi saya, sepak bola adalah seni. Seni yang harus kita olah dengan gerak tubuh kita, sehingga menjadi olahraga yang menarik dan enak ditonton. Menonton sepak bola harus terhibur. Sehingga pemain, mainnya harus bagus,” katanya.
sumber radarjogja
[ by : admin ]